Ditulis Oleh Ganda Putra Marbun, S.H.
Pengertian Hukum Perburuhan
Pendahuluan
Ketika
kita mendengar kata “hukum,” apa yang pertama kali terlintas dalam benak kita?
Biasanya jarang sekali kita langsung membayangkan suatu perangkat yang terdiri
dari benda, manusia dan lembaga. Tetapi karena kita terbiasa mengalami hal-hal
yang berkaitan dengan hukum, maka kita kadang mengidentifikasikan atau
mengartikan hukum sebagai polisi, penjara, pengadilan, atau hal-hal lain
semacamnya. Bahkan seringkali perasaan yang timbul diiringi rasa takut dan khawatir
yang berlebihan. Itu sebabnya banyak diantara kita yang sama sekali enggan
berurusan dengan hal-hal yang menyangkut hukum. Perasaan-perasaan seperti itu
sangat wajar terjadi, kalau saja kita belum memahami sepenuhnya apa yang
dimaksud dengan hukum itu sendiri. Seperti juga ketakutan kawan-kawan untuk
menuntut upah diatas UMR (Upah Minimum Regional), tujuh ribu rupiah misalnya.
Karena kawan-kawan selalu dibayangi ketakutan-ketakutan: “UMR = Rp 4.000,-,
kalau saya menuntut Rp 7.000,- maka saya melanggar hukum, menuntut hal yang
tidak wajar, berlebihan dan terlalu banyak. Dan kalau saya melanggar hukum,
maka saya akan berurusan dengan polisi atau tentara!”Benarkah pemikiran semacam
itu? Untuk menjawabnya atau membantu kawan-kawan menemukan jawabannya, maka di
bawah ini akan diuraikan tentang proses penciptaan hukum, pengertian dasar
tentang hukum, hukum di tengah perkembangan masyarakat, hukum pada umumnya di
Indonesia dan cara pandang kita atau analisa kita terhadap hukum perburuhan di
Indonesia. Materi ini tidak dimaksudkan untuk mendorong kita menjadi ahli
hukum, melainkan membantu kita untuk dapat menempatkan hukum pada posisi dan
cara pandang yang benar, agar dengan demikian kita juga dapat menggunakan hukum
sebagai salah satu alat dalam perjuangan kaum buruh di Indonesia.
Proses
Penciptaan Hukum Pada hakekatnya hukum merupakan produk dari perkembangan
masyarakat, di mana ketidak-teraturan dan kesewenang-wenangan juga
kepentingan-kepentingan dari sekelompok masyarakat tertentu membutuhkan dan
menghasilkan proses terciptanya serangkaian ketentuan-ketentuan dan
kesepakatan-kesepakatan. Ketentuan-ketentuan yang disepakati itu kemudian dalam
perkembangannya dikenal sebagai “hukum.” Sehingga pada sebuah tubuh yang
namanya hukum, dia mempunyai dua muka atau sisi: sisi keadilan dan sisi
kepentingan. Apakah maksudnya? Mari kita uraikan dalam kali pertama ini tentang
proses penciptaan hukum.
1.
Proses Penciptaan Hukum Pada Sisi Keadilan
Sekarang
marilah kita perbandingkan antara kehidupan di mana seseorang itu hidup seorang
diri dan kehidupan di mana ada sekumpulan orang yang hidup bersama. Dari
perbandingan ini akan kita dapatkan perbedaan yang cukup besar antara dua
kehidupan tersebut, di mana kesepakatan-kesepakatan yang mengatur kehidupan
antar individu manusia akan dibutuhkan pada situasi di mana manusia tinggal
bersama dengan manusia lain, saling berhubungan dan saling ketergantungan. Pada
situasi ini, apabila tidak ada peraturan yang disepakati bersama maka akan
tidak beres dan tidak tertib. Seorang manusia yang mempunyai kekuatan akan
menindas dan memperlakukan sewenang-wenang terhadap manusia lainnya. Sehingga
kemudian peraturan-peraturan yang dibuat bersama tersebut dimaksudkan agar
kesewenang-wenangan tersebut dapat dibatasi dan terdapat perlakuan yang lebih
adil diantara mereka. Sehingga fungsi hukum pada sisi ini ialah menciptakan
suatu ketertiban dalam masyarakat.
2.
Proses Penciptaan Hukum Pada Sisi Kepentingan
Di
sisi lain terciptanya hukum juga dimaksudkan untuk melegitimasi atau menjadi
alat pembenaran untuk tercapainya tujuan-tujuan individu atau kelompok yang
mempunyai kepentingan-kepentingan tertentu. Misalnya saja pada masyarakat
feodal, seseorang yang mempunyai tanah yang luas lambat laun menguasai hayat
hidup orang banyak. Karena orang-orang yang terkuasai ini tidak memiliki tanah,
maka akhirnya mereka tinggal dan mengabdikan diri di atas tanah milik tuan
tanah tersebut. Orang-orang ‘miskin’ itu bekerja dan sepenuhnya hidup
tergantung pada si tuan tanah. Ketika diatur suatu hukum untuk mengatur masyarakat,
maka si tuan tanah akan berusaha sekeras mungkin untuk mempengaruhi isi hukum
tersebut agar kepentingan ekonominya (atas tanah atau hartanya yang lain) bisa
dipertahankannya. Karena orang-orang yang tergantung padanya banyak, maka ia
dapat mempengaruhi orang-orang tersebut untuk mendukungnya mencapai apa yang
dia inginkan.
Sehingga
pada sisi ini maka hukum menjadi alat untuk mewakili kepentingan orang atau
kelompok yang berpengaruh. Dan proses penciptaan hukum seperti inilah yang
terus berkembang terutama pada masyarakat di mana jumlahnya sudah sedemikian
banyaknya, sehingga penciptaan hukum dilakukan lewat badan perwakilan seperti
DPR di Indonesia. Karena, menurut sejarah, dahulu kala penciptaan hukum
dilakukan dengan melibatkan seluruh masyarakat (karena masyarakatnya masih
sedikit sehingga dimungkinkan seluruh masyarakat berkumpul dan bermusyawarah
menciptakan suatu peraturan tertentu).Pengertian Dasar Tentang Hukum Dari
uraian di atas maka kita dapat simpulkan apa yang dimaksud dengan hukum ialah
suatu rangkaian atau sistem dari perangkat-perangkat yang berisi
perintah-perintah dan larangan-larangan yang ditujukan untuk terciptanya
ketertiban, di mana pelanggaran terhadapnya akan terkena sanksi.
Jadi
sesungguhnya hukum adalah salah satu norma dalam masyarakat, seperti juga norma
agama, kesusilaan dan norma kesopanan. Hanya saja, hukum adalah norma yang
lebih tegas dari pada norma yang lainnya. Mengapa? Karena hukum mempunyai alat
pemaksa yaitu hukuman atau sanksi yang dapat dikenakan dan terasa oleh
pelanggar-pelanggarnya. Hukuman-hukuman ini diterapkan oleh lembaga-lembaga
penegak hukum seperti pengadilan, kepolisian, dan lain sebagainya. Nah,
sekarang tergambarlah sudah, bahwa apabila kita menyebutkan ‘hukum’, maka hal
itu bukan saja berarti sekumpulan kitab-kitab (buku-buku) yang tebal-tebal,
tetapi ada juga lembaga-lembaga ataupun orang-orang. Jadi hukum di sini juga
berarti:
1. Buku-buku yang berisi pasal-pasal
mengenai larangan-larangan dan perintah-perintah;
2. Lembaga-lembaga penegakkan dan pembentuk
hukum, misalnya: DPR Pemerintah, pengadilan, kepolisian, lembaga-lembaga
pemasyarakatan, dan lain-lain;
3. Manusia penegak hukum, misalnya:
masyarakat, hakim, jaksa, penuntut umum, pengacara, dan lain-lain.
Oleh
karena itu, hukum barulah dapat ditegakkan apabila faktor-faktor tersebut
secara selaras dan disiplin menerapkan hukum. Sia-sia sajalah apabila kita
memiliki peraturan-peraturan yang sempurna, tetapi hakim masih bisa disogok,
atau polisi masih sewenang-wenang. Atau seluruh perangkat telah sempurna
bekerja, tetapi masyarakat sama sekali tidak mengindahkannya atau tidak
mematuhinya. Sehingga dapat dikatakan, hukum baru dapat ditegakkan apabila
seluruh subyek hukum menjalankan fungsinya. Untuk dapat dipatuhi, maka hukum
haruslah menjamin keadilan untuk masyarakat yang akan menjalankannya.
Pertanyaan yang harus kita jawab sekarang adalah apakah hukum kita telah
menjamin keadilan untuk seluruh rakyat? Karena, apabila hukum tidak menjamin
keadilan, maka akan terjadi banyak keresahan-keresahan dalam masyarakat. Hal
itu mensyaratkan bahwa haruslah terjadi perubahan atau reformasi hukum.
Hukum
dan Perkembangan Masyarakat
Seorang
hakim Agung dari Jerman yang bernama Karl Von Savigny mengatakan bahwa “Hukum
itu tidak berdiri sendiri, tetapi tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan
masyarakat.” Pernyataan itu dapat diandaikan sebagai berikut:
Pada
tahun 30-an masyarakat memakai dokar sebagai alat transportasi sehingga
kemudian muncul peraturan tentang tata tertib pemakaian dokar. Tetapi
masyarakat terus berkembang. Sekarang di tahun 90-an, masyarakat tidak lagi
memakai dokar, tetapi sudah menggunakan kendaraan bermotor seperti mobil atau
sepeda motor. Tetapi peraturan tertulis adalah benda mati. Haruskah masyarakat
dikekang agar tidak menggunakan kendaraan bermotor karena tidak ada
peraturannya? Tentu saja tidak! Melainkan, peraturanlah yang harus berubah.
Maka dibuatlah sebuah peraturan tentang kendaraan bermotor.
Persis
seperti itu pula dengan apa yang terjadi pada perkembangan perjuangan kaum
buruh di Indonesia. Kalau pada tahun 50-an kebutuhan kaum buruh dinilai dengan
tidur beralaskan tikar, berpenerangan lampu teplok, beralas kaki sandal jepit,
dan lainnya, sehingga itulah yang digunakan sebagai standar menentukan upah,
apakah di era canggih sekarang ini di mana orang telah memakai listrik,
menemukan satelit atau komputer, kita tetap menerima upah berstandarkan tikar,
lampu teplok dan sandal jepit??!! Tidak! Sekali lagi: tidak! Kenapa? Karena
masyarakat telah berkembang. Dan kita tidak hidup di tahun 50-an. Kita hidup
sekarang di tahun 90-an, di tengah teknologi dan inflasi.
Itulah
karenanya peraturan yang ada sekarang hanyalah membuat kita resah, gelisah
melihat kebutuhan-kebutuhan yang kian hari kian tak dapat terpenuhi. Lalu
mengapa hukum tidak dapat menjawab keresahan-keresahan kita? Mengapa hukum yang
ada tidak membuat kita merasa adil atau terlindungi? Jawabannya adalah karena
proses penciptaan dan perkembangan hukum yang ada sekarang telah memasuki tahap
penciptaan hukum yang berpihak pada sisi kepentingan sekelompok orang yang
bernama pemodal. Masyarakat sendiri berkembang dalam tahap-tahap. Dimulai dari
masyarakat primitif –> perbudakan –> feodal –> kapitalis –>
masyarakat tanpa klas. Setiap bentuk masyarakat itu mempunyai ciri-cirinya yang
sangat spesifik (khusus), terutama pada struktur ekonomi dan pola produksinya.
Sehingga berangkat dari ciri tersebut kemudian mempengaruhi watak negara. Yang
berarti juga mempengaruhi segala unsur dalam negara termasuk politik, hukum,
dan lainnya.Pada masyarakat kapitalis, di mana sekelompok kecil menguasai
pemilikan alat-alat produksi dan di sisi lain sekelompok besar lainnya hanya
memiliki tenaga untuk melakukan kerja, maka masyarakat terbagi atas kelas-kelas
terutama dalam hubungan ini, kelas pemilik modal dan kelas buruh. Dan pada
masyarakat kapitalis watak negara pun menjadi kapitalistis (berpihak pada klas
kapitalis). Kalau watak negara kapitalistis, maka hukum yang berlaku juga
diwarnai dengan keberpihakannya pada klas pemodal.Hukum dalam Masyarakat IndonesiaWalaupun
banyak orang yang mengatakan pasal 33 UUD 1945 bersifat sangat sosialis, tetapi
perkembangan masyarakat Indonesia, tidak dapat dipungkiri, telah masuk dalam
tahap masyarakat kapitalis. Lihatlah pabrik-pabrik yang berdiri megah-megah itu
dimiliki oleh segelintir orang saja. Badan-badan usaha milik negara pun
sekarang telah mulai diswastanisasikan, dimiliki oleh kaum bermodal. Dan kita
pun memilah orang-orang menjadi: orang-orang bermobil, berumah mewah, memiliki
perusahaan-perusahaan kita sebut pengusaha dan orang-orang yang berebutan naik
“bis karyawan,” makan mie instan setiap hari, tinggal di pemukiman-pemukiman
kumuh kita sebut buruh. Semua itu membuktikan bahwa Indonesia sekarang adalah
negara kapitalis. Dan apabila kita bertanya: jadi seperti apakah sistem hukum
Indonesia? Jawabannya pasti sistem hukum yang kapitalistis.Oleh sebabnya,
secara umum dapat kita simpulkan bahwa sulit sekali kaum tertindas di Indonesia
untuk mendapatkan keadilan melalui hukum. Banyak peristiwa yang tidak dapat diselesaikan
secara adil oleh perangkat hukum. Pengrusakkan hutan-hutan di Sumatra atau
Kalimantan misalnya. Tidak terjangkau oleh hukum karena ada kepentingan pemodal
yang mengusahakan penebangan hutan. Atau penggusuran tanah milik rakyat, tidak
dapat juga terselesaikan karena ada kepentingan untuk menjadikan tanah itu
menjadi lahan industri, _real estate_ atau lapangan golf. Atau kasus-kasus
pemogokan dan perselisihan perburuhan juga diselesaikan dengan kekerasan
senjata. Banyak juga pejabat-pejabat yang ketika dia melanggar hukum,
seakan-akan hukum tak pernah bisa menjangkaunya (kebal hukum). Dan masih banyak
lagi peristiwa lainnya yang menunjukkan begitu rentannya hukum dan betapa hukum
hanyalah menjadi alat bagi kepentingan-kepentingan mempertahankan kekuasaan dan
penguasaan modal. Sehingga sebenarnya ketika kita mencoba menganalisa hukum di
Indonesia, maka kerusakkannya tidaklah dapat disembuhkan kecuali sistemnya
dahulu diperbaiki. Dan kalau kita mempelajari lebih lanjut mengenai hukum, kita
dapat membagi hukum dalam dua cara kajian:
1.
Hukum publik yaitu hukum yang mengatur setiap perbuatan melawan hukum yang
dapat dilakukan oleh siapa pun juga (tidak mengandung unsur pihak-pihak yang
bersengketa);
2.
Hukum privat yaitu hukum yang mengatur persengketaan pihak-pihak. Hukum
perburuhan adalah salah satunya. Dalam hukum perburuhan pihak-pihaknya sangat
jelas, yaitu pada intinya mengatur tentang hubungan kerja antara majikan dan
buruh. Inilah yang akan kita bahas selanjutnya.Hukum Perburuhan di
IndonesiaSekarang kita akan membahas lebih jauh tentang hukum perburuhan, yang
bagi kaum buruh jenis hukum inilah yang paling bersentuhan dengan masalah kita
sehari-hari. Hukum perburuhan sebenarnya juga merupakan hukum yang paling mudah
dipelajari untuk melihat perkembangan masyarakat yang terjadi sekarang ini di
Indonesia. Namun untuk mempelajarinya, kita harus senantiasa mengkaitkannya
dengan hal-hal yang berkembang dalam masyarakat. Misalnya begini, kenaikan upah
yang ditetapkan menurut peraturan akan dirasakan besar apabila hanya melihat
jumlahnya. Tetapi kalau kita juga mempelajari kenaikan-kenaikan harga di pasar,
maka jumlah ini akan terlihat sangat kecil, bahkan kenyataanya dapat dikatakan
tidak ada kenaikkan sama sekali.Selain itu juga secara keseluruhan peraturan-peraturan
perburuhan yang berlaku sekarang di Indonesia merupakan rangkaian dari proses
pemenjaraan hak kaum buruh. Untuk hal ini tentu saja kawan-kawan harus
mempelajarinya melalui diskusi-diskusi kelompok. Tetapi mungkin pada bagian ini
kita akan coba pelajari sedikit tentang hukum perburuhan dan di sisi apa ia
sangat merugikan kaum buruh.Peraturan Mengenai UpahUpah kecil dan sangat tidak
realistis, kita tidak perlu membahasnya karena hal itu kawan-kawanlah yang
dapat merasakannya sehari-hari. Tetapi terhadap pelanggaran ketentuan upah, apa
sanksi yang dapat dikenakan terhadap majikan? Peraturan Pemerintah No. 8 tahun
1981 pasal 32 menyebutkan apabila majikan melanggar ketentuan mengenai upah
maka dia dapat dipidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 3 bulan atau
denda setinggi-tingginya Rp 100.000,-. Sekarang marilah kita hitung, kalau saja
sebuah perusahaan mempekerjakan 1000 orang buruh, dan melanggar ketentuan upah
minimum Rp 500,- kepada setiap orang buruh setiap hari.
Dalam
satu hari saja keuntungan yang dapat diambil oleh majikan dengan merampas hak
buruh mencapai = Rp 500,- x 1000 = Rp 500.000,-. Dalam sebulan = Rp 500.000,- x
25 = Rp 12.500.000,-. Dalam satu tahun = 12 x Rp 12.500.000,- = Rp
150.000.000,-.Tentu saja dengan hal ini majikan akan memilih melanggar
ketentuan upah dengan sanksi Rp 100.000,- ketimbang membayarkan hak
buruhnya.Ketentuan ini sangat tidak masuk akal dan sangat tidak adil untuk
buruh. Padahal ketentuan hukum menyebutkan bahwa sanksi yang dijatuhkan untuk
setiap pelanggaran hukum haruslah jauh lebih berat daripada bentuk
pelanggarannya, karena itulah yang akan membuat setiap pelanggarnya menjadi
jera untuk melanggar hukum. Tetapi apakah ketentuan ini diterapkan dalam PP No.
8 tahun 1981?Ketentuan mengenai Hak MogokDalam konvensi ILO (Organisasi Buruh
Internasional) yang telah diratifikasi (disyahkan berlaku) oleh Indonesia
dinyatakan bahwa mogok adalah hak buruh. Dalam sejarah pun mogok memang
merupakan senjata kaum buruh. Mengapa? Karena dengan mogoklah kaum buruh dapat
menyeimbangkan kekuatannya dengan pemodal yang mempekerjakannya. Tetapi
kemudian berlakulah rangkaian peraturan yang setahap demi setahap sebenarnya
mempereteli senjata kaum buruh ini. Misalnya saja pada pasal 13 UU No. 14 tahun
1969 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja, menyebutkan
“penggunaan hak mogok, demonstrasi dan lock out diatur dengan peraturan
perundang-undangan.” (UU No. 22 tahun 1957 dan Penpres No. 7 tahun 1963) yang
sesungguhnya mengatur tentang penyelesaian perselisihan perburuhan yang di
dalamnya telah mengambil alih fungsi mogok dengan dibentuknya lembaga arbitrase
yang terdiri dari Perantaraan Depnaker, P4D, dan P4P. Lembaga-lembaga yang pada
kenyataannya sama sekali tidak berpihak pada buruh, dan sangat melemahkan
tuntutan buruh terpusat pada ketentuan normatif saja.Demikian juga tentang
kesehatan dan keselamatan kerja, hak-hak kesejahteraan lainnya, yang bukan saja
tidak diatur dalam peraturan tertulis yang berpihak pada kepentingan buruh,
tetapi juga ditegakkan oleh pegawai-pegawai negara yang pada prakteknya sangat
berpihak pada kepentingan kaum pemodal. Untuk itu kawan-kawan harus terus
mempelajarinya. Kunci dari segala permasalahan ini ialah tidak adanya
organisasi atau serikat buruh yang benar-benar dapat mewakili dan melindungi
kepentingan-kepentingan kaum buruh di Indonesia. Untuk itu negara juga merampas
hak berorganisasi buruh melalui peraturan-peraturan tentang hak berorganisasi
yang sebenarnya sama sekali tidak memberikan kesempatan kaum buruh untuk
berorganisasi. Oleh karena itu sesungguhnya hukum yang berlaku sekarang tidak
dapat dijadikan alat perjuangan kaum buruh, bahkan kaum buruh harus berjuang
untuk sebuah perubahan hukum yang lebih adil.Jadi, mempelajari hukum perburuhan
bukanlah untuk membuat kita tahu, hapal kemudian dijadikan pedoman untuk
perjuangan kita. Tetapi mempelajari hukum perburuhan berarti mencoba dengan
kritis melihat sisi-sisi yang merugikan kaum buruh dan berjuang untuk melakukan
perubahan. Apabila hukum sudah dianggap adil oleh kaum buruh, maka hukum dapat
dijadikan alat untuk perjuangan kaum buruh. Dapatkah hukum berubah? Tentu saja
dapat sebagaimana yang telah kita bahas di muka, bahwa hukum itu mengikuti
perkembangan masyarakat. Maka perkembangan kesadaran dan kekuatan kaum buruh
untuk memperjuangkan haknya adalah salah satu faktor yang dapat mempengaruhi
perubahan hukum
Pengertian
dan Lingkup Hukum perburuhan
SEJARAH
HUKUM PERBURUHAN
Pada
awalnya hukum perburuhan termasuk dalam hukum perdata yang diatur dalam BAB VII
A buku III KUHP tentang perjanjian kerja. Setelah Indonesia merdeka, hukum
perburuhan di Indonesia mengalami perubahan dan penyempurnaan yang akhirnya
terbit UU No.1 tahun 1951 tentang berlakunya UU No.12 tahun 1948 tentang kerja,
UU No.22 tahun 1957 tentang penyelesaian perselisihan perburuhan, UU No.14
tahun 1969 tentang pokok-pokok ketenagakerjaan dan lain-lain.
PENGERTIAN
HUKUM PERBURUHAN
1.
Menurut Molenaar : Hukum yang pada pokoknya mengatur hubungan antara majikan
dan buruh, buruh dengan buruh dan antara penguasa dengan penguasa.
2.
Menurut Levenbach : Sebagai sesuatu yang meliputi hukum yang berkenaan dengan
hubungan kerja, dimana pekerjaan itu dilakukan dibawah pimpinan.
3.
Menurut Van Esveld : Hukum perburuhan tidak hanya meliputi hubungan kerja yang
dilakukan dibawah pimpinan, tetapi termasuk pula pekerjaan yang dilakukan atas
dasar tanggung jawab sendiri.
4.
Menurut Imam Soepomo : Himpunan peraturan baik tertulis maupun tidak tertulis
yang berkenaan dengan kejadian seseorang bekerja pada orang lain enggan
menerima upah.
LINGKUP
HUKUM PERBURUHAN
Menurut
JHA. Logemann, “Lingkup laku berlakunya suatu hukum adalah suatu keadaan /
bidang dimana keadah hukum itu berlaku”.
Menurut
teori ini ada 4 lingkup Laku Hukum antara lain :
1.
Lingkup Laku Pribadi (Personengebied)
Lingkup
laku pribadi mempunyai kaitan erat dengan siapa (pribadi kodrati) atau apa
(peran pribadi hukum) yang oleh kaedah hukum dibatasi.
Siapa
– siapa saja yang dibatasi oleh kaedah Hukum Perburuhan adalah :
a.
Buruh.
b.
Pengusaha.
c.
Pengusaha (Pemerintah)
2.
Lingkup Laku Menurut Waktu (Tijdsgebied)
Lingkup
laku menurut waktu ini menunjukan waktu kapan suatu peristiwa tertentu diatur
oleh kaedah hukum.
3.
Lingkup Laku menurut Wilayah (Ruimtegebied)
Lingkup
laku menurut wilayah berkaitan dengan terjadinya suatu peristiwa hukum yang di
beri batas – batas / dibatasi oleh kaedah hukum.
4.
Lingkup Waktu Menurut Hal Ikhwal
Lingkup
Laku menurut Hal Ikwal di sini berkaitan dengan hal – hal apa saja yang menjadi
objek pengaturan dari suatu kaedah.