Ditulis oleh Ganda Putra Marbun, S.H. Minggu, 30 Desember 2012 pukul : 20.00 WIB.
Perkembangan
globalisasi mendorong terjadinya pergerakan aliran modal dan investasi
ke berbagai penjuru dunia, terjadi pula migrasi penduduk atau pergerakan
tenaga kerja antar negara. Pergerakan tenaga kerja tersebut berlangsung
karena investasi yang dilakukan di negara lain pada umumnya membutuhkan
pengawasan secara langsung oleh pemilik/investor. Sejalan dengan itu,
demi menjaga kelangsungan usaha dan investasinya. Untuk menghindari
terjadinya permasalahan hukum serta penggunaan tenaga kerja asing yang
berlebihan, maka Pemerintah harus cermat menentukan policy yang akan di ambil guna menjaga keseimbangan antara tenaga kerja asing (modal asing) dengan tenaga kerja dalam negeri.
A. PENDAHULUAN
Menyadari kenyataan sejauh ini Indonesia
masih memerlukan investor asing, demikian juga dengan pengaruh
globalisasi peradaban dimana Indonesia sebagai negara anggota WTO harus
membuka kesempatan masuknya tenaga kerja asing. Untuk mengantisipasi hal
tersebut diharapkan ada kelengkapan peraturan yang mengatur persyaratan
tenaga kerja asing, serta pengamanan penggunaan tenaga kerja asing.
Peraturan tersebut harus mengatur aspek-aspek dasar dan bentuk peraturan
yang mengatur tidak hanya di tingkat Menteri, dengan tujuan penggunaan
tenaga kerja asing secara selektif dengan tetap memprioritaskan TKI.
Oleh karenanya dalam mempekerjakan
tenaga kerja asing, dilakukan melalui mekanisme dan prosedur yang sangat
ketat, terutama dengan cara mewajibkan bagi perusaahan atau korporasi
yang mempergunakan tenaga kerja asing bekerja di Indonesia dengan
membuat rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) sebagaimana diatur
dalam Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara
Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
B. PENGATURAN NASIONAL MENGENAI TENAGA KERJA ASING
1. Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang (TKWNAP)
Berbeda dengan Undang-Undang
Ketenagakerjaan yang menggunakan istilah tenaga kerja asing terhadap
warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Negara
Kesatuan Republik Indoensia (NKRI), dalam Keputusan Presiden Nomor 75
Tahun 1995 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang
(TKWNAP), menggunakan istilah tenaga warga negara asing pendatang, yaitu
tenaga kerja warga negara asing yang memiliki visa tingal terbatas atau
izin tinggal terbatas atau izin tetap untuk maksud bekerja (melakukan
pekerjaan) dari dalam wilayah Republik Indonesia (Pasal 1 angka 1).
Istilah TKWNAP ini dianggap kurang tepat, karena seorang tenaga kerja
asing bukan saja datang (sebagai pendatang) dari luar wilayah Republik
Idnonesia, akan tetapi ada kemungkinan seorang tenaga kerja asing lahir
dan bertempat tinggal di Indonesia karena status keimigrasian orang
tuanya (berdasarkan asas ius soli atau ius sanguinis).
Pada prinsipnya, Keputusan Presiden
Nomor 75 Tahun 1995 tentang penggunaan tenaga kerja warga negara asing
pendatang adalah mewajibkan pengutamaan penggunaan tenaga kerja
Indonesia di bidang dan jenis pekerjaan yang tersedia kecuali jika ada
bidang dan jenis pekerjaan yang tersedia belum atau tidak sepenuhnya
diisi oleh tenaga kerja Indonesia, maka penggunaan tenaga kerja warga
negara asing pendatang diperbolehkan sampai batas waktu tertentu (Pasal
2). Ketentuan ini mengharapkan agar tenaga kerja Indonesia kelak mampu
mengadop skill tenaga kerja asing yang bersangkutan dan
melaksanakan sendiri tanpa harus melibatkan tenaga kerja asing. Dengan
demikian penggunaan tenaga kerja asing dilaksanakan secara slektif dalam
rangka pendayagunaan tenaga kerja Indonesia secara optimal.
2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUK), penggunaan tenaga kerja asing
di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1958 tentang
Penempatan Tenaga Kerja Asing (UUPTKA). Dalam perjalanannya, pengaturan
mengenai penggunaan tenaga kerja asing tidak lagi diatur dalam
undang-undang tersendiri, namun sudah merupakan bagian dari kompilasi
dalam UU Ketenagakerjaan yang baru. Dalam UUK, pengaturan Penggunaan
Tenaga Kerja Asing (TKA) dimuat pada Bab VIII, Pasal 42 sampai dengan
Pasal 49. Pengaturan tersebut dimulai dari kewajiban pemberi kerja yang
menggunakan TKA untuk memperoleh izin tertulis; memiliki rencana
penggunaan TKA yang memuat alasan, jenis jabatan dan jangka waktu
penggunaan TKA; kewajiban penunjukan tenaga kerja WNI sebagai pendamping
TKA; hingga kewajiban memulangkan TKA ke negara asal setelah
berakhirnya hubungan kerja.
UUK menegaskan bahwa setiap pengusaha
dilarang mempekerjakan orang-orang asing tanpa izin tertulis dari
Menteri. Pengertian Tenaga Kerja Asing juga dipersempit yaitu warga
negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja di wilayah Indonesia.
Di dalam ketentuan tersebut ditegaskan kembali bahwa setiap pemberi
kerja yang mempekerjakan tenaga kerja asing wajib memiliki izin tertulis
dari Menteri atau pejabat yang ditunjuk. Untuk memberikan kesempatan
kerja yang lebih luas kepada tenaga kerja Indonesia (TKI), pemerintah
membatasi penggunaan tenaga kerja asing dan melakukan pengawasan. Dalam
rangka itu, Pemerintah mengeluarkan sejumlah perangkat hukum mulai dari
perizinan, jaminan perlindungan kesehatan sampai pada pengawasan.
Sejumlah peraturan yang diperintahkan oleh UUK antara lain :
1) Keputusan Menteri tentang Jabatan Tertentu dan Waktu Tertentu (Pasal 42 ayat (5));
2) Keputusan Menteri tentang Tata Cata Pengesahan Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (Pasal 43 ayat (4));
3) Keputusan Menteri tentang Jabatan dan Standar Kompetensi (Pasal 44 ayat (2));
4) Keputusan Menteri tentang Jabatan-jabatan Tertentu yang Dilarang di Jabat oleh Tenaga Kerja Asing (Pasal 46 ayat (2));
5) Keputusan Menteri tentang
Jabatan-jabatan Tertentu di Lembaga Pendidikan yang Dibebaskan dari
Pembayaran Kompensasi (Pasal 47 ayat (3)).
6) Peraturan Pemerintah tentang Besarnya Kompensasi dan Penggunaannya (Pasal 47 ayat 4).
7) Keputusan Presiden tentang
Penggunaan Tenaga Kerja Asing serta Pelaksanaan Pendidikan dan Pelatihan
Tenaga Kerja Pendamping (Pasal 49).
Sejak UUK diundangkan pada tanggal 25 Maret 2003, telah dilahirkan beberapa peraturan pelaksana undang-undang tersebut[1], antara lain :
1) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 223/MEN/2003 Tentang Jabatan-jabatan di Lembaga
Pendidikan yang Dikecualikan dari Kewajiban Membayar Kompensasi.
2) Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor 67/MEN/IV/2004 tentang Pelaksanaan Program JAMSOSTEK
bagi Tenaga Kerja Asing.
3) Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing.
Selanjutnya dijelaskan bahwa untuk
memenuhi kebutuhan pasar kerja nasional terutama dalam mengisi
kekosongan keahlian dan kompetensi di bidang tertentu yang tidak dapat
ter-cover oleh tenaga kerja Indonesia, maka tenaga kerja asing dapat
dipekerjakan di Indonesia sepanjang dalam hubungan kerja untuk jabatan
tertentu dan waktu tertentu. Mempekerjakan tenaga kerja asing dapat
dilakukan oleh pihak manapun sesuai dengan ketentuan kecuali pemberi
kerja orang perseorangan. Setiap pemberi kerja yang mempekerjakan tenaga
kerja asing wajib memiliki izin tertulis dari menteri atau pejabat yang
ditunjuk kecuali terhadap perwakilan negara asing yang mempergunakan
tenaga kerja asing sebagai pegawai diplomatik dan konsuler. Ketentuan
mengenai jabatan tertentu dan waktu tertentu bagi tenaga kerja asing
ditetapkan dengan keputusan Menteri, yaitu Keputusan Menteri Nomor :
KEP-173/MEN/2000 tentang Jangka Waktu Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja
Warga Negara Asing Pendatang.
Terhadap setiap pengajuan/rencana
penggunaan tenaga kerja asing di Indonesia harus dibatasi baik dalam
jumlah maupun bidang-bidang yang dapat diduduki oleh tenaga kerja asing.
Hal itu bertujuan agar kehadiran tenaga kerja asing di Indoesia
bukanlah dianggap sebagai ancaman yang cukup serius bagi tenaga kerja
Indonesia, justru kehadiran mereka sebagai pemicu bagi tenaga kerja
Indonesia untuk lebih professional dan selalu menambah kemampuan dirinya
agar dapat bersaing baik antara sesama tenaga kerja Indonesia maupun
dengan tenaga kerja asing. Oleh karenanya UUK, membatasi jabatan-jabatan
yang dapat diduduki oleh tenaga kerja asing. Terhadap tenaga kerja
asing dilarang menduduki jabatan yang mengurusi personalia dan/atau
jabatan-jabatan tertentu yang selanjutnya diatur dengan Keputusan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 223 Tahun 2003 tentang
Jabatan-jabatan di Lembaga Pendidikan yang Dikecualikan dari Kewajiban
Membayar Kompensasi.
Jabatan-jabatan yang dilarang (closed list)
ini harus diperhatikan oleh si pemberi kerja sebelum mengajukan
penggunaan tenaga kerja asing. Selain harus mentaati ketentuan tentang
jabatan, juga harus memperhatikan standar kompetansi yang berlaku.
Ketentuan tentang jabatan dan standar kompetensi didelegasikan ke dalam
bentuk Keputusan Menteri. Namun dalam prakteknya, kewenangan delegatif
maupun atributif ini belum menggunakan aturan yang sesuai dengan UUK.
Kahadiran tenaga kerja asing dapat
dikatakan sebagai salah satu pembawa devisa bagi negara dimana adanya
pembayaran kompensasi atas setiap tenaga kerja asing yang dipekerjakan.
Pembayaran kompensasi ini dikecualikan pada pemberi kerja tenaga kerja
asing merupakan instansi pemerintah, perwakilan negara asing,
badan-badan internasional, lembaga sosial, lembaga keagamaan, dan
jabatan-jabatan tertentu di lembaga pendidikan[2].
Besanya dana kompensasi untuk tenaga kerja Indonesia di luar negeri
sebesar US$15, sedangkan kompensasi untuk tenaga kerja asing di
Indonesia sebesar US$100[3]. Dalam rangka pelaksanaan Transfer of Knowledge
dari tenaga kerja asing kepada tenaga kerja Indonesia, kepada pemberi
kerja diwajibkan untuk mengadakan pendidikan dan pelatihan bagi tenaga
kerja pendamping (Pasal 49 UUK). Mengenai hal ini diatur dengan
Keputusan Presiden yang sampai saat ini belum ditetapkan.
3. Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Peraturan Menteri ini dikelurakan dalam
rangka pelaksanaan Pasal 42 ayat (1) UUK. Dengan dikeluarkannya
Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara
Penggunaan Tenaga Kerja Asing ini maka
beberapa peraturan sebelumnya terkait dengan pelaksanaan Pasal 42 ayat
(1) UUK ini yakni : Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor KEP.228/MEN/2003 tentang Tata Cara Pengesahan Rencana Penggunaan
Tenaga Kerja Asing; Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Nomor KEP.20/MEN/III/2004 tentang Tata Cara Memperoleh Ijin
Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing; Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor KEP.21/MEN/III/2004 tentang Penggunaan Tenaga Kerja
Asing Sebagai Pemandu Nyanyi/Karaoke; Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor PER.07/MEN/III/2006 tentang Penyederhanaan Prosedur
Memperoleh Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA); Peraturan
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.15/MEN/IV/2006 tentang
Perubahan atas Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor
PER.07/MEN/III/2006 tentang Penyederhanaan Prosedur Memperoleh Ijin
Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA); Peraturan Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi Nomor PER.34/MEN/III/2006 tentang Ketentuan Pemberian
Ijin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA) Kepada Pengusaha Yang
Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing Pada Jabatan Direksi atau Komisaris;
dicabut dan dinyatakan tidak berlaku (Pasal 44).
1)Tata Cara Permohonan Pengesahan RPTKA
Selain harus memiliki izin mempekerjakan
tenaga kerja asing, sebelumnya pemberi kerja harus memiliki Rencana
Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) yang disahkan oleh Menteri atau
pejabat yang ditunjuk. Pasal 3 menyebutkan bahwa “pemberi kerja yang
akan mempekerjakan TKA harus memiliki RPTKA” yang digunakan sebagai
dasar untuk mendapatkan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA).
Untuk mendapatkan pengesahan RPTKA, pemberi kerja TKA harus mengajukan
permohonan secara tertulis yang dilengkapi alasan penggunaan TKA dengan
melampirkan :
- formulir RPTKA yang sudah dilengkapi;
- surat ijin usaha dari instansi yang berwenang;
- akte pendirian sebagai badan hukum yang sudah disahkan oleh pejabat yang berwenang;
- keterangan domisili perusahaan dari pemerintah daerah setempat;
- bagan struktur organisasi perusahaan;
- surat penunjukan TKI sebagai pendamping TKA yang dipekerjakan;
- copy bukti wajib lapor ketenagakerjaan yang masih berlaku berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1981 tentang Wajib Lapor Ketenagakerjaan di perusahaan; dan
- rekomendasi jabatan yang akan diduduki oleh TKA dari instansi tertentu apabila diperlukan.
Formulir RPTKA sebagaimana dimaksud pada huruf a memuat :
- Identitas pemberi kerja TKA;
- Jabatan dan/atau kedudukan TKA dalam struktur bagan organisasi perusahaan yang bersangkutan;
- Besarnya upah TKA yang akan dibayarkan;
- Jumlah TKA;
- Lokasi kerja TKA;
- Jangka waktu penggunaan TKA;
- Penunjukan tenaga kerja warga negara Indonesia sebagai pendamping TKA yang dipekerjakan[4]; dan
- Rencana program pendidikan dan pelatihan tenaga kerja Indonesia.
2) Pengesahan RPTKA
Dalam hal hasil penilaian kelayakan
permohonan RPTKA telah sesuai prosedur yang ditetapkan, Dirjen atau
Direktur harus menerbitkan keputusan pengesahan RPTKA. Penerbitan
keputusan pengesahan RPTKA dilakukan oleh Dirjen untuk permohonan
penggunaan TKA sebanyak 50 (lima puluh) orang atau lebih; serta Direktur
untuk permohonan penggunaan TKA yang kurang dari 50 (lima puluh) orang.
Keputusan pengesahan RPTKA ini memuat :
- Alasan penggunaan TKA;
- Jabatan dan/atau kedudukan TKA dalam struktur organisasi perusahaan yang bersangkutan;
- Besarnya upah TKA;
- Jumlah TKA;
- Lokasi kerja TKA;
- Jangka waktu penggunaan TKA;
- Jumlah TKI yang ditunjuk sebagai pendamping TKA[5]; dan
- Jumlah TKI yang dipekerjakan.
3) Perubahan RPTKA
Pemberi kerja TKA dapat mengajukan
permohonan perubahan RPTKA sebelum berakhirnya jangka waktu RPTKA.
Perubahan RPTKA tersebut meliputi :
a. penambahan, pengurangan jabatan beserta jumlah TKA;
b. perubahan jabatan; dan/atau
c. perubahan lokasi kerja.
4) Persyaratan TKA
Bagi Tenaga Kerja Asing yang
dipekerjakan oleh pemberi kerja wajib memenuhi persyaratan yakni:
memiliki pendidikan dan/atau pengalaman kerja sekurang-kurangnya 5
(lima) tahun yang sesuai dengan jabatan yang akan didudukinya; bersedia
membuat pernyataan untuk mengalihkan keahliannya kepada tenaga kerja
warga negara Indonesia khususnya Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
pendamping; dan dapat berkomunikasi dalam Bahasa Indonesia.
5) Perijinan
Ijin Menggunakan Tenaga Kerja Asing
(IMTA) diberikan oleh Direktur Pengadaan dan Penggunaan Tenaga Kerja
Kementerian Tenaga kerja dan Transmigrasi kepada pemberi kerja tenaga
kerja asing[6], dengan terlebih dahulu mengajukan permohonan untuk mendapatkan rekomendasi visa (TA-01) dengan melampirkan (Pasal 23) :
- Copy Surat Keputusan Pengesahan RPTKA;
- Copy paspor TKA yang akan dipekerjakan;
- Daftar riwayat hidup TKA yang akan dipekerjakan;
- Copy ijasah dan/atau keterangan pengalaman kerja TKA yang akan dipekerjakan;
- Copy surat penunjukan tenaga kerja pendamping; dan
- Pas foto berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 1 (satu) lembar.
Dalam hal Ditjen Imigrasi telah
mengabulkan permohonan visa untuk dapat bekerja atas nama TKA yang
bersangkutan dan menerbitkan surat pemberitahuan tentang persetujuan
pemberian visa, maka pemberi kerja TKA mengajukan permohonan IMTA dengan
melampirkan (Pasal 24):
- copy draft perjanjian kerja;
- bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank yang ditunjuk oleh Menteri;
- copy polis asuransi;
- copy surat pemberitahuan tentang persetujuan pemberian visa; dan
- foto berwarna ukuran 4x6 sebanyak 2 (dua) lembar[7].
6) Perpanjangan IMTA
Mengenai perpanjangan Ijin Mempekerjakan
Tenaga Kerja Asing (IMTA) diatur dalam Pasal 27 dan Pasal 28. IMTA
dapat diperpanjang paling lama 1 (satu) tahun, bila masa berlaku IMTA
belum berakhir. Oleh karena itu permohonan perpanjangan IMTA
selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari kerja sebelum jangka waktu
berlakunya IMTA berakhir. Permohonan perpanjangan IMTA dilakukan dengan
mengisi formulir perpanjangan IMTA dengan melampirkan :
- Copy IMTA yang masih berlaku;
- Bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank yang ditunjuk oleh Menteri;
- Copy polis asuransi;
- Pelatihan kepada TKI pendamping;
- Copy keputusan RPTKA yang masih berlaku; dan
- Foto berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar.
Perpanjangan IMTA diterbitkan oleh :
- Direktur untuk TKA yang lokasi kerjanya lebih dari 1 (satu) wilayah propinsi;
- Gubernur atau pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di provinsi untuk TKA yang lokasi kerjanya lintas Kabupaten/Kota dalam 1 (satu) provinsi;
- Bupati/Walikota atau pejabat yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan di Kabupaten/Kota untuk TKA yang lokasi kerjanya dalam 1 (satu) wilayah Kabupaten/Kota;
7) IMTA Untuk Pekerjaan Darurat
Pekerjaan yang bersifat darurat atau
pekerjaan-pekerjaan yang apabila tidak ditangani secara langsung
mengakibatkan kerugian fatal bagi masyarakat umum dan jangka waktunya
tidak lebih dari 30 (tiga puluh) hari, yang mana jenis pekerjaan
mendesak itu ditetapkan oleh instansi pemerintah yang membidangi sektor
usaha yang bersangkutan. Permohonan pengajuan IMTA yang bersifat
mendesak ini disampaikan kepada Direktur dengan melampirkan :
- Rekomendasi dari instansi pemerintah yang berwenang;
- Copy polis asuransi;
- Fotocopy paspor TKA yang bersangkutan;
- Pasfoto TKA ukuran 4 x 6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar;
- Bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui bank yang ditunjuk oleh Menteri; dan
- Bukti ijin keimigrasian yang masih berlaku.
8) IMTA Untuk Kawasan Ekonomi Khusus
Untuk memperoleh IMTA bagi TKA yang
bekerja di kawasan ekonomi khusus, pemberi kerja TKA harus mengajukan
permohonan secara tertulis kepada Pejabat yang ditunjuk di kawasan
ekonomi khusus. Tata cara memperoleh IMTA di kawasan ekonomi khusus
mengikuti ketentuan dalam poin 5 (lima).
9) IMTA Untuk Pemegang Kartu Izin Tinggal Tetap (KITAP)
Pemberi kerja yang akan mempekerjakan
TKA pemegang ijin tinggal tetap wajib mengajukan permohonan kepada
Direktur dengan melampirkan :
- Copy RPTKA yang masih berlaku;
- Copy izin tinggal tetap yang masih berlaku;
- Daftar riwayat hidup TKA yang akan dipekerjakan;
- Copy ijasah atau pengalaman kerja;
- Bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank yang ditunjuk oleh Menteri;
- Copy polis asuransi; dan
- Pas foto berwarna ukuran 4 x 6 cm sebanyak 3 (tiga) lembar.
10) IMTA Untuk Pemandu Nyanyi/Karaoke
Pemberi kerja yang akan mempekerjakan
TKA sebagai pemandu nyanyi/karaoke wajib memiliki ijin tertulis dari
Direktur. Jangka waktu penggunaan TKA sebagai pemandu nyanyi/karaoke
diberikan paling lama 6 (enam) bulan dan tidak dapat diperpanjang. Untuk
menjapatkan ijin pemberi kerja TKA harus mengajukan permohonan IMTA
dengan melampirkan :
- Copy ijin tempat usaha yang memiliki fasilitas karaoke;
- RPTKA yang telas disahkan oleh direktur;
- Bukti pembayaran dana kompensasi penggunaan TKA melalui Bank yang ditunjuk oleh Menteri;
- Copy polis asuransi; dan
- Perjanjian kerja TKA dengan pemberi kerja.
11) Alih Status
Pemberi kerja TKA instansi pemerintah
atau lembaga pemerintah atau badan internasional yang akan memindahkan
TKA yang dipekerjakannya ke instansi pemerintah atau lembaga pemerintah
atau badan internasional lainnya harus mengajukan permohonan rekomendasi
alih status kepada Direktur. Rekomendasi disampaikan kepada Direktur
Jenderal Imigrasi untuk perubahan KITAS/KITAP yang digunakan sebagai
dasar perubahan IMTA atau penerbitan IMTA baru.
12) Perubahan Nama Pemberi Kerja
Dalam hal pemberi kerja TKA berganti
nama, pemberi kerja harus mengajukan permohonan perubahan RPTKA kepada
Direktur Penyediaan dan Penggunaan Tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja
dan Transmigrasi. Setelah RPTKA disetujui, Direktur Penyediaan dan
penggunaan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi menerbitkan
rekomendasi kepada Direktur Jenderal Imigrasi untuk mengubah KITAS/KITAP
sebagai dasar perubahan IMTA, dengan terlebih dahulu menyampaikan
permohonan dengan melampirkan :
- Copy RPTKA yang masih berlaku;
- Copy KITAS/KITAP yang masih berlaku;
- Copy IMTA yang masih berlaku;
- Copy bukti perubahan nama perusahaan yang telah disahkan oleh instansi yang berwenang.
13) Perubahan lokasi Kerja
Dalam hal pemberi kerja melakukan
perubahan lokasi kerja TKA, pemberi kerja wajib mengajukan permohonan
perubahan lokasi kerja TKA kepada Direktur Penyediaan dan Penggunaan
tenaga Kerja Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan
melampirkan copy RPTKA dan IMTA yang masih berlaku.
14) Pelaporan
Pemberi kerja TKA wajib melaporkan
penggunaan TKA dan pendamping TKA di perusahaan secara periodik 6 (enam)
bulan sekali kepada Direktur atau Gubernur atau Bupati/Walikota dengan
tembusan kepada Dirjen. Direktur atau Gubernur atau Bupati/Walikota
melaporkan IMTA yang diterbitkan secara periodik setiap 3 (tiga) bulan
kepada Menteri dengan tembusan kepada Dirjen.
15) Pengawasan
Pengawasan terhadap pemberi kerja yang
mempekerjakan TKA dilakukan oleh pegawai pengawas ketenagakerjaan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan
16) Pencabutan Ijin
Dalam hal pemberi kerja mempekerjakan
TKA tidak sesuai dengan IMTA, Direktur atau Gubernur atau
Bupati/Walikota berwenang mencabut IMTA.
C. IMPLEMENTASI
Sejak amandemen UUD 1945, asas otonomi
daerah mendapatkan posisinya dalam Pasal 18 tentang pemerintah daerah
dan dikembangkannya sistem pemerintahan yang desentralistis melalui
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Lima hal
pokok yang menjadi kewenangan Pusat Menyusul diberlakukannya otonomi
daerah ini adalah luar negeri, pertahanan dan keamanan, moneter,
kehakiman, dan fiskal. Masalah ketenagakerjaan pun menjadi lingkup
kewenangan pemerintah daerah, dengan menempatkannya dalam struktur
organisasi dan tata kerja dalam struktur “dinas”.
Berdasarkan Peraturan Menteri Nomor
PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing,
pengajuan mempergunakan tenaga kerja asing untuk pertama kalinya
diajukan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, selanjutnya untuk
perpanjangan diajukan dan diberikan oleh Direktur atau
Gubernur/Walikota. Kondisi ini telah melahirkan masalah baru di daerah.
Sebagai contoh kasus yang terjadi di Kota Batam, Sebelum diberlakukannya
UUK, Pemerintah Daerah melalui seksi penempatan kerja dan tenaga kerja
asing memiliki tugas dan wewenang dalam proses pemberian izin tenaga
kerja asing di Kota Batam. Akan tetapi setelah diberlakukannya UUK,
tugas dan kewenangan seksi tereliminir. Para pengusaha yang akan
mempekerjakan tenaga kerja asing pun harus menyeberang pulau menenuju
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi di Jakarta. Tentu saja dengan
mekanisme baru ini membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Apa
lagi birokrasi di Kementerian kita masih dinilai negatif; urusan yang
mudah justru dipersulit. Kerumitan yang dipandang oleh para pengusaha
yang akan meminta izin mempekerjakan tenaga kerja asing ini menjadi
sorotan terutama bagi kementerian yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan untuk dapat meningkatkan kinerjanya dalam memberikan
pelayanan khususnya pemberian izin mempekerjakan tenaga kerja asing[8].
Selanjutnya Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi menerbitkan Surat Keputusan Nomor B.388/MEN/TKDN/VI/2005
tanggal 21 Juli 2005 yang telah disosialisasikan oleh Dinas Tenaga Kerja
Kota Batam. SK ini pun mendapat tanggapan keras dari kalangan pengusaha
di Batam untuk dapat meninjau kembali tentang pengesahan RPTKA.
Keberatan lain yang menjadi point penting adalah biaya yang cukup besar
untuk mengurus pengajuan dan izin penggunaan tenaga kerja asing.
Pengurusan izin penempatan tenaga kerja asing juga muncul sehubungan
dengan pendapatan asli daerah (PAD) karena di dalam kaitannya dengan
dana kompensasi di Provinsi Jawa Timur terdapat sedikitnya 1400 tenaga
kerja asing yang tersebar di wilayah Kabupaten/Kota[9].
Berkaitan dengan keberadaan tenaga kerja asing tersebut maka Pemerintah
Provinsi Jawa Timur membuat Perda Nomor 2 Tahun 2002 tentang Izin Kerja
Perpanjangan Sementara dan Mendesak Bagi tenaga Kerja Warga Negara
Asing Pendatang; yang substansinya memberikan pembebanan kepada pengguna
tenaga kerja asing di Jawa Timur untuk membayar dana kompensasi kepada
pemerintah daerah provinsi dan hasil dana kompensasi tersebut dibagi
secara proporsional kepada setiap Kabupaten/Kota yang terdapat di
wilayah Provinsi Jawa Timur.
Contoh lain terdapat di Kabupaten Bekasi
yang sebagian ruang wilayah diperuntukkan bagi kawasan industri, maka
dengan didirikannya berbagai perusahaan industri, dampaknya terdapat
tenaga kerja asing yang bekerja di perusahaan-perusahaan industri di
wilayah Bekasi. Di Kabupaten Bekasi sedikitnya terdapat 1500 tenaga
kerja asing, dari jumlah tersebut sebagian besar tenaga kerja asing
tersebut berasal dari Korea dan Jepang[10].
Terkait TKA di Kabupaten Bekasi diatur dalam Peraturan Daerah Nomor 19
Tahun 2001 tentang Hak dan Kewajiban Tenaga Kerja Asing, salah satu
substansi pengaturannya berkaitan dengan kewajiban sertiap warga negara
asing yang bekerja di wilayah Kabupaten Bekasi untuk menyetor uang
sebesar US$100 per bulan kepada Pemerintah Kabupaten Bekasi. Secara
ekonomis ketentuan tersebut menghasilkan dana untuk pemerintah
Kabupaten, karena dimasukkan ke dalam Anggaran Penerimaan dan Belanja
Daerah (APBD) Kabupaten Bekasi dan secara tidak langsung Mekanisme
tersebut dapat dikategorikan sebagai bentuk dari pengawasan tidak
langsung, karena setiap bulan akan diketahui berapa jumlah tenaga kerja
asing yang ada di Kabupaten Bekasi. Hal tersebut dapat dilihat dari
jumlah dana yang Disetor setiap bulan dari para pengusaha kawasan
industri di Kabupaten bekasi ke Kas Pemda Bekasi.
Namun demikian menurut Pemda Bekasi
keberadaan tenaga kerja asing di Bekasi belum memberikan keuntungan bagi
pembangunan di wilayahnya, Salah satu alasannya pemasukan pajak tenaga
kerja asing sebesar Rp 23 milyar wajib disetor ke Pemerintah Pusat,
karena berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Tahun 2005 dana
tersebut merupakan pendapatan non pajak dan hak pemerintah pusat. BPK
mengatakan dana tersebut bersumber dari dana pengembangan ketrampilan
kerja (DPKK), padahal dana tersebut merupakan uang hasil pungutan dari
seluruh tenaga kerja asing yang bekerja di wilayah Bekasi. Perda Nomor
19 Tahun 2001 mempertimbangkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999, Dalam
undang-undang tersebut disebutkan daerah memiliki kewenangan mengatur
keberadaan tenaga kerja asing demi pembangunan daerah, hal ini berarti
pungutan yang berasal dari tenaga kerja asing seharusnya juga menjadi
sumber pendapatan asli daerah. Sedangkan pemerintah Pusat melalui
Kementerian Keuangan menyatakan pungutan terhadap tenaga kerja asing
sebagai pendapatan non pajak Kementerian Keuangan menyatakan pungutan
tersebut harus di setor kepada Pemerintah Pusat.
Dengan demikian terjadi perbedaan
pemahaman antara Pusat dan Daerah soal tenaga kerja asing yang dapat
menimbulkan permasalahan dan ketidakpastian hukum. Hal tersebut tidak
perlu terjadi karena dengan tuntutan instansi/lembaga pemerintah di
daerah untuk menjalankan otonomi di daerahnya, dalam rangka
ketenagakerjaan telah dikeluarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor
130-67 Tahun 2002 tentang Pengakuan Kewenangan Kabupaten dan Kota. Pada
Lampairan Keputusan Mendagri, khususnya Pada Bidang Ketenagakerjaan
angka romawi I huruf A: Penempatan dan pendayagunaan, angka 7 :
Perizinan dan Pengawasan, perpanjangan izin penggunaan tenaga Kerja
asing, disebutkan bahwa kewenangan yang dilimpahkan kepada
Kabupaten/Kota adalah :
- Penelitian pelengkapan persyaratan perizinan (IKTA);
- Analisis jabatan yang akan diisi oleh tenaga kerja asing
- Pengecekan kesesuaian jabatan dengan Positif List tenbaga kerja asing yang akan dikeluarkan oleh DEPNAKER;
- Pemberian perpanjangan izin (Perpanjangan IMTA);
- Pemantauan pelaksanaan kerja tenaga kerja asing; dan
- Pemberian rekomendasi IMTA.
Terkait permohonan IKTA dalam rangka
penenaman modal asing, didasarkan pada Keputusan Menteri Tenaga Kerja,
Transmigrasi dan Koperasi Nomor KEP-105/MEN/1977 tentang Pelimpahan
Wewenang Pemberian Izin Kerja Bagi tenaga Kerja Asing yang akan bekerja
dalam rangka Koordinasi penanaman modal, diatur bahwa IKTA dikeluarkan
oleh Ketua Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Namun berdasarkan
Kepmenaker Nomor KEP-03/MEN/1990 bahwa permohonan IKTA yang diajukan
oleh pemohon yang merupakan perusahaan dalam rangka PMA dan PMDN,
disampaikan kepada Ketua BKPM (Pasal 9 ayat 2). Kemudian Ketua BKPM atas
nama Menteri Tenaga Kerja mengeluarkan IKTA dengan tembusan disampaikan
kepada instansi teknis (Pasal 10 ayat 2 dan 3).
Selanjutnya pengaturan secara teknis
tentang tata cara permohonan penyelesaian IKTA bagi perusahaan dalam
rangka PMA dan PMDN, wajib menyesuaikan dan mengikuti ketentuan dalam
Kepmenaker Nomor KEP-416/MEN/1990 (Pasal 21). Namun berdasarkan
Kepmenaker Nomor KEP-169/MEN/2000 tentang Pencabutan Kepmenaker Nomor
KEP-105/MEN/1977 Tentang pelimpahan Wewenang Pemberian Izin Kerja bagi
Tenaga Kerja Asing yang akan bekerja dalam rangka Koordinasi Penanaman
Modal dan Kepmenaker Nomor KEP-105/MEN/1985 tentang Penunjukan Ketua
BKPM untuk mensahkan (RPTKA) dalam rangka penanaman modal, mencabut
wewenang pemberian izin kerja (IKTA) oleh Ketua BKPM dalam rangka
penanaman modal (sejak tanggal 1 Juli 2000). Selanjutnya pemberian IKTA
dilaksanakan oleh Menteri Tenaga Kerja sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
D. PENUTUP
Berdasarkan uraian terdahulu, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut :
- ketentuan mengenai tenaga kerja asing di Indonesia dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan, tidak diatur lagi dalam suatu peraturan perundang-undangan tersendiri seperti dalam Undang-Undang Nomor 3 tahun 1958 tentang penempatan tenaga kerja asing, tetapi merupakan bagian dari kompilasi dalam UUK yang baru tersebut. Ketentuan mengenai penggunaan tenaga kerja asing dimuat pada Bab VIII Pasal 42 sampai dengan Pasal 49. Namun demikian untuk dapat melaksanakan undang-undang yang baru masih banyak kendala terutama dalam menggalakkan investasi karena sejumlah peraturan yang melengkapi kelancaran program penggunaan tenaga kerja asing belum siap, sejauh ini baru Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing yang sudah ada disamping 3 Permenaker yang lain untuk mengisi kekosongan hukum dengan belum terbitnya peraturan-peraturan yang diperlukan maka peraturan yang lama sementara masih diberlakukan.
- Penempatan tenaga kerja asing dapat dilakukan setelah pengajuan rencana penggunaan tenaga kerja asing (RPTKA) disetujui oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dengan mengeluarkan izin penggunaan tenaga kerja asing. Untuk dapat bekerja di Indonesia, tenaga kerja asing tersebut harus mempunyai izin tinggal terbatas (KITAS) yang terlebih dahulu harus mempunyai visa untuk bekerja di Indonesia atas nama tenaga kerja asing yang bersangkutan untuk dikeluarkan izinnya oleh Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan HAM.
- Tenaga ahli yang didatangkan dari luar negeri oleh perusahaan pemerintah/swasta hendaknya benar-benar tenaga ahli yang terampil sehingga dapat membatu proses pembangunan ekonomi dan teknologi di Indonesia. Untuk itu proses alih teknologinya kepada TKI baik dalam jalur menajerial maupun profesionalnya harus mendapat pengawasan yang ketat dengan memberikan sertifikasi kepada tenaga ahli tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Laporan, “Survey Nasional Tenaga Kerja Asing di Indonesia”, Bank Indonesia, Tahun 2009.
Laporan Akhir Penelitian: Permasalahan Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, BPHN, Tahun 2005.
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Keputusan Presiden Nomor 75 Tahun 1995 Tentang Penggunaan Tenaga Kerja Warga Negara Asing Pendatang (TKWNAP)
Keputusan Menteri Kehakiman Republik
Indonesia Nomor M.01.HT.04.02 Tahun 1997 Penggunaan Ahli Hukum Warga
Negara Asing oleh Kantor Konsultan Hukum Indonesia
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigarasi Nomor 223 Tahun 2003 Tentang Jabatan-jabatan di Lembaga
Pendidikan yang Dikecualikan dari Kewajiban Membayar Kompensasi.
Peraturan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor M.09-Pr.07.10 Tahun 2007 Tentang Organisasi Dan Tata Kerja Departemen Hukum dan HAM RI
Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing
Kompas.com, Dilema Indonesia dalam ACFTA, diakses tanggal 11 Mei 2011
http://www.tempointeraktif.com, diakses tanggal 22 Mei 2011.
[1]
Keputusan Menteri yang diprakarsai Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi ini merupakan implementasi UUK. Namun pelaksanaan
undang-undang oleh Keputusan Menteri tidak sesuai dengan hierarki
peraturan perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang
Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
[2]
Pasal 3 Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigarasi Nomor 223
Tahun 2003 Tentang Jabatan-jabatan di Lembaga Pendidikan yang
Dikecualikan dari Kewajiban Membayar Kompensasi.
[3] Peraturan Menteri Nomor PER.02/MEN/III/2008 Tentang Tata Cara Penggunaan Tenaga Kerja Asing
[4]
Untuk tercapainya alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja
asing ke tenaga kerja warga negara Indonesia, maka diadakan pendidikan
dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sesuai dengan
kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing kecuali bagi
tenaga kerja asing yang menduduki jabatan direksi dan/atau komisaris.
[5]
Untuk tercapainya alih teknologi dan alih keahlian dari tenaga kerja
asing ke tenaga kerja warga negara Indonesia, maka diadakan pendidikan
dan pelatihan kerja bagi tenaga kerja Indonesia sesuai dengan
kualifikasi jabatan yang diduduki oleh tenaga kerja asing kecuali bagi
tenaga kerja asing yang menduduki jabatan direksi dan/atau komisaris.
[6]
Apabila permohonan telah memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), Direktur harus menerbitkan rekomendasi (TA-01) dan menyampaikan
kepada Direktur Lalu Lintas Keimigrasian (Lantaskim), Direktorat
Jenderal Imigrasi dalam waktu selambat-lambatnya pada hari berikutnya
dengan ditembuskan kepada pemberi kerja TKA (Pasal 23 ayat (2))
[7] Dalam hal persyaratan telah dipenuhi, Direktur menerbitkan IMTA selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja (Pasal 24 ayat (2))
[8] Laporan Akhir Penelitian: Permasalahan Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia, BPHN, Tahun 2005.
[9] Ibid.
[10] http://www.tempointeraktif.com, diakses tanggal 22 Mei 2011.